Laman

Rabu, 25 September 2013

SEMUA UNTUK MALUKU UTARA

Oleh 
Abd Halil Hi. Ibrahim Tjan, M.Si
(Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UMMU)

I

Perang besar dan berlangsung dalam waktu yag panjang pun usai. Banyak yang hilang dari perang saudara; itu. Kedamaian, semangat persatuan, ribuan jiwa rakya tokoh-tokoh bangsa, orang-orang yang berjasa dala: membangun negara, semua musnah.
Namun, sang "Ratu Adil" telah datang membawa kemenangan. Yudisthira, segera setelah dinobatkan menjadi Raja Astina, ia menyampaikan salam damai dan sejahtera ba semua yang telah gugur. Kawan maupun lawan, semua yang gugur adalah pahlawan, karena mereka sama-sama berperang membela negerinya, meskipun dengan persepsi yang berbeda
Ia mengangkat salah seorang tokoh tua menjadi perdana menteri. Ia memeluk dan mencium kaki Destarat raja sebelumnya yang buta, lemah dan menjadi sumber malapetaka. Raja yang telah membuang dan menyengsaraku dirinya, ibunya dan saudara-saudaranya selama belasan tahun itu diangkat menjadi penasehat kerajaan dan guru besarnya Ia menyebut isteri Destarata sebagai cahaya kerajaan. membagi tugas dan tanggung jawab kenegaraan kepada Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, para pahlawan yang telah menpertaruhkan jiwa dan raganya. Kemudian ia menyampai­kan pesan kenegaraan :
Banyak sekali yang hilang dari perang ini. Perang telah menciptakan kehancuran, melenyapkan ribuan nyawa. Tetapi itu semua adalah masa lalu, maka Lupakanlah, ambillah pelajaran dari sana. Oleh karena itu, hilangkan dendam, karena dendam hanya akan menciptakan perang berikutnya. Sebagai pemimpin negara, tugasku sekarang adalah menatap masa depan, membangun masa depan negara ini menuju negara yang adil, makmur dan sejehtera.
Seperti diceritakan dalam "Perang Barathayudha," dari legenda Mahabarata, Sang Ratu Adil Yudisthira membawa negara Astina menjadi negara yang tentram, damai, adil, makmur dan sejahtera. Ia menjadikan masa lalu sebagai bagian dari sejarah, sebagai pelajaran menuju masa depan yang gemilang. Di bawah Yudisthira, Astina menjadi negara "impian" bagi komunitas manusia.
"Sejarah Mahabarata" hanyalah legenda, tetapi kisah kepahlawanan, keangkaramurkaan perang melawan kejahatan dan kebatilan, serta konsep dan landasan pemerintahan negara yang terkuak dalam legenda itu telah menjadi "mitos" yang dipercayai sebagai sebuah kenyataan yang selalu ada dalam setiap perjalanan bangsa manusia. oleh karena itu, "Ratu Adil" diyakini oleh banyak masyarakat akan muncul menyusul terjadinya kehancuran negara. Ia hadir untuk mengobati, membaharui dan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

II

Di Negeri kita ini (Maluku Utara), pernah terjadi Konflik social yang cukup memukau bahkan kita di kenal dengan daerah yang sangat kental dengan kekerasan  Dalam Pandangan sosiologis, Dahrendorf berpendapat bahwa Masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus, Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengaku bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Contoh, nyonya Prancis sangat tak mungkin berkonflik dengan pemain catur Chili karena tak ada kontak antara mereka, tak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan basis untuk konflik. Sebaliknya, konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Contohnya adalah aliansi antara Amerika Serikat dan Jepang yang berkembang sesudah Perang Dunia II.
Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendor tak optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan: "Mustahil menyatukan teori untuk menerang kan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangar filsafat Barat". Untuk menghindarkan diri dari teori tunggal itu Dahrendorf membangun teori konflik masyarakat.
Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh, fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, sistem sosial diper­satukan oleh kerja sama sukarela atau oleh konsesus bersama atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh "ketidakbebasan yang dipaksakan". Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas "selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis".
Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.  Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: "sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan". Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Seperti otoritas, harapan ini pun melekat pada posisi, bukan pada orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum; mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Karena itu seseorang yang berwenang dalam iatu lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan fang lain. Begitu pula seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam suatu kelompok, mungkin menempati posisi yang superordinat dalam kelompok ain. Ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat ersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh lierarki posisi otoritas. Karena masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang ndividu dapat menempati posisi otoritas di satu unit dan menempati posisi yang ubordinat di unit lain.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu ada dua, hanya da dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk di dalam setiap asosiasi. Celompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang aempunyai kepentingan tertentu "yang arah dan substansinya saling ber-entangan". Di sini kita berhadapan dengan konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf, yakni kepentingan. Kelompok yang berada di atas dan yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama. Dahrendorf tetap nenyatakan bahwa kepentingan itu, yang sepertinya tampak sebagai fenomena mikologi, pada dasarnya adalah fenomena berskala luas:
Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordina berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan di dalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas selalu terancam. Konflik kepentingan ini tak selalu perlu disadari oleh pihal subordinat dan superordinat dalam rangka melakukan aksi. Kepentingan superordinat dan subordinat adalah objektif dalam arti bahwa kepentingan itt tercermin dalam harapan (peran) yang dilekatkan pada posisi. Individu tak selalu perlu menginternalisasikan harapan itu atau tak perlu menyadarinya dalam rangka bertindak sesuai dengan harapan itu. Bila individu menempati posisi tertentu, mereka akan berperilaku menurut cara yang diharapkan. Individt "disesuaikan" atau "menyesuaikan diri" dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat dan subordinat. Harapan peran yang tal disadari ini disebut Dahrendorf kepentingan  tersembunyi. Kepentingan nyata adalah" kepentingan tersembunyi yang telah disadari. Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu sebaga tugas utama teori konflik. Bagaimanapun juga, aktor tak selalu perlu menyadar kepentingan mereka untuk bertindak sesuai dengan kepentingan itu.
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok.
1.     Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau "sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang; sama". Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua,
2.     Kelompok Kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan oleh Dahrendorf seperti berikut: Mode perilaku yang sama adalah karakteristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok ini adalah agen riil dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan.
3.     Dari berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual.
Menurut Dahrendorf, konsep kepentingan tersembunyi, kepentingan nyata kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok konflik adalah konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial. Di bawah kondisi yang ideal tak ada lagi variabel lain yang diperlukan. Tetapi, karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial, dahrendorf menyebut kondisi-kondisi teknis seperti personil yang cukup, kondisi politik seperti situasi politik secara keseluruhan, dan kondisi sosial seperti keberadaan hubungan komunikasi. Cara orang direkrut ke dalam kelompok semu adalah kondisi sosial yang penting bagi Dahrendorf. Dia menganggap bahwa rekrutmen berlangsung secara acak dan ditentukan oleh peluang, maka kelompok kepentingan, dan akhirnya kelompok konflik, tak mungkin muncul.
Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-iba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.


III


Untuk konteks Maluku Utara, bahwa yang pa­ling banyak diharapkan dapat memainkan peranan mengisi ruang ruang dalam civil society bisa terbentuk, serta menghindari konflik/perkelahian adalah kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Organisasi politik lain, seperti partai politik dan sejumlah kelompok kepentingan yang berdasarkan profesi, seperti Kadin, Gapensi, dan lain sebagainya, masih sangat terbatas peranannya. Dalam wacana politik Indonesia, sebagaimana yang kita amati, tidak jarang organisasi non-pemerintah seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Lembaga Konsumen Indo­nesia (YLKI), Walhi, dan lain-lain, dan yang mengambil-alih peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, mengisi ruang publik dalam proses pembentukan kebijaksanaan publik. Kelompok kepentingan yang seringkali muncul adalah kelom­pok kepentingan yang bersifat konvensional, seperti yang ber­asal dari kalangan Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdla­tul Ulama. Atau, yang berasal dari kalangan gereja Kristen dan Katolik, semua kelompok-kelompok itu mempunyai tanggungjawab bersama untuk Masa depan Maluku Utara.

Sekian……


Sumber Bacaan, :

Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kholid O. Santosa, 2010, Praktek Demokrasi Langsung di Indonesia, Bandung : Sega Arsy.
George Ritzer- Douglas J. Godmen, 2010 Teori Sosiologi Modern (terjemahan), Jakarta : Kencana

Selasa, 02 November 2010

MEMBUNUH PARTAI BARU


MEMBUNUH PARTAI BARU

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) selalu akrab dengan atribut-atribut tak elok. Setelah kesohor sebagai salah satu lembaga paling korup, kini DPR menyandang predikat baru sebagai pembunuh.
Pembunuh? Ya, pembunuh partai-partai baru. Sembilan partai yang bercokol di DPR seolah sepakat menjegal partai-partai baru ikut dalam Pemilu 2014. Penjegalan dilakukan melalui revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Badan Legislasi DPR sedang menyiapkan revisi UU itu. Salah satu materi yang hendak diselundupkan ke dalam RUU itu menyebutkan parpol yang baru lahir tidak boleh menjadi peserta Pemilu 2014, tetapi harus mengonsolidasikan diri sekurang-kurangnya lima tahun. Jika pasal itu lolos, partai-partai baru baru boleh mengikuti pemilu pada 2019. Itulah pasal pengebirian sekaligus penyesatan terhadap konstitusi negara. UUD 1945 amendemen kedua Pasal 28E ayat 3 jelas-jelas menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Mengapa DPR merasa berhak membatasi? Pembatasan itu menunjukkan ketakutan partai-partai di DPR terhadap partai-partai baru. Partai-partai yang bercokol di DPR menyadari rakyat kian kecewa dan frustrasi terhadap kinerja mereka. Partai-partai di DPR lebih menjaga kepentingan kelompok daripada memperjuangkan hak-hak publik. Tengok saja Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi yang baru disahkan. Itu adalah persekongkolan partai-partai untuk menyelamatkan kepentingan kelompok, bukan memperjuangkan keperluan khalayak. Semestinya DPR tidak perlu genit membuat aturan menghambat partai baru. Peraturan yang ada sekarang sudah cukup ketat menyeleksi partai sebagai badan hukum dan sebagai peserta pemilu. Sebuah partai terlebih dahulu harus memperoleh pengesahan sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, diseleksi lagi sebagai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Banyak partai tumbang dalam dua seleksi itu. Tidak hanya itu. Setelah lolos mengikuti pemilu, masih ada aturan lain menghadang, yakni parliamentary threshold sebesar 2,5% sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Artinya, hanya parpol yang secara nasional mempunyai suara memenuhi ambang batas 2,5% itu yang dapat menempatkan wakilnya di parlemen. Dengan aturan-aturan tersebut, DPR tidak perlu menghalangi partai baru mengikuti pemilu. Adalah hak warga negara untuk mendirikan partai yang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka. Biarkanlah partai-partai itu tumbuh, hidup, dan bersaing merebut kepercayaan publik. Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim yang memvonis partai mana yang boleh hidup dan mana yang harus mampus. Bukan partai-partai di DPR yang menjadi algojo memenggal hak berserikat warga. Kita kecewa dengan sikap partai-partai yang kini bersinggasana di DPR. Kecewa karena DPR yang semestinya mendorong proses demokrasi melalui pembentukan undang-undang telah beralih menjadi tukang jagal yang memotong hak hidup partai baru.

----000----

Rabu, 27 Oktober 2010

BANGSA MATI RASA


BANGSA MATI RASA


PERSOALAN bangsa yang tidak berhasil dituntaskan secara substansial telah membawa bangsa ini kian tenggelam dalam dimensi yang lebih luas dan kompleks dari krisis. Berbagai kasus yang muncul belakangan ini seperti kasus Century, kasus mundurnya Menkeu Sri Mulyani, kasus Susno Duadji, dan kasus-kasus lain yang muncul sebelumnya menjadi indikasi bahwa elite bangsa ini lebih banyak memindahkan persoalan yang satu ke persoalan yang lain daripada menyelesaikan secara tuntas. Dalam level tertentu, hal itu telah melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Salah satu penyebabnya adalah karena kalangan elite bangsa ini, khususnya pejabat pemerintah dan politikus, telah mengalami mati rasa. Perilaku mereka tidak konsisten. Ada kesenjangan serius antara ucapan dan perbuatan.
Itulah keprihatinan yang diungkapkan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah kuliah umum di Jakarta, Kamis (13/5). Keprihatinan itu senyatanya tidak mengada-ada. Dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini kita tidak lagi menganggap perilaku seperti itu sebagai anomali, tetapi sebuah kelaziman. Prinsip-prinsip tentang keluhuran budi, kesetiakawanan sosial, kejujuran, dan idealisme telah dikalahkan oleh ketidakpekaan, ketidakpedulian, dan semangat pragmatisme dalam menyelesaikan persoalan. Semangat kebangsaan telah direduksi dan dikerdilkan sedemikian rupa demi membela kepentingan individu, partai, kelompok, dan golongan. Elite bangsa yang semestinya memberikan teladan tentang budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran, dan idealisme lebih banyak mempertontonkan kemunafikan dan ketidakpedulian. Yang lebih sering berlangsung adalah barter dan transaksi dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kita menyaksikan bagaimana masyarakat menekankan interaksi transaksional dalam bentuk yang paling rakus. Sesungguhnya, ini gejala yang sangat mengkhawatirkan. Karena tidak hanya merasuki kaum elite, tapi juga merambat ke hampir semua elemen masyarakat. Karena itu, diperlukan upaya besar dan berani untuk menghentikan laju kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini. Bila terus dibiarkan, tidak ada yang bisa menjamin bangsa ini akan mampu bertahan. Kuncinya ada pada semangat keteladanan dari para pemimpin bangsa. Keteladanan untuk berbuat baik, berbudi pekerti luhur, bermoral, dan berpihak serta berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kalau semangat seperti itu telah sirna dari dalam diri pemimpin kita yang ada saat ini, tantangan bagi seluruh komponen bangsa ini untuk melahirkan kembali pemimpin-pemimpin baru yang lebih muda, lebih berani, lebih jujur, dan lebih amanah.Karena itu, perlu didukung lahirnya kekuatan baru dengan barisan moral yang lebih kukuh, lebih intelektual, lebih merakyat, lebih berdisiplin, dan lebih berketerampilan. Itulah solusi bagi bangsa yang sakit.    ------00000000------

Minggu, 24 Oktober 2010

PERKEMBANGAN KONDISI SOSIAL POLITIK PASCA PILKADA



PERKEMBANGAN KONDISI SOSIAL POLITIK PASCA PILKADA

Abd Halil Hi.Ibrahim, M.Si



Pendahuluan

            Mencermati fenomena sosial  politik bangsa kita sebenarnya cukup menarik untuk disimak. Sekedar sebagai pembanding Indonesia di era orde baru yang penuh dengan Intrik-intrik (Kata para Ahli), karena daerah-daerah tidak diberikan kewenangan untuk mengurus diri (Pemerintah Pusat=Jakarta). Persoalan ekonomi, sosial dan politik adalah suatu kemasan yang tak terlepaskan dari perhatian pemerintah Pusat.
            Indonesia Orde Baru membawa pesan sempatik dan pesan caci maki, sebagian analis sosial Politik menyatakan Orde Baru baik dengan indikator Pembangunan, pendapatan, kesejatraan masyarakat, keamanan masyarakat dan Investor terjamin. Analis sosial politik yang lain menyatakan karena sistem Pemerintahan Orde Baru sehingga saat ini anak bangsa menuai malapetaka. (=Kerusuhan di daerah-daerah, Fitnah, putusnya tali Silaturrahmi antar warga masyarakat dan lain-lain=).
            Munculnya undang-undang No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah dan Pusat merupakan Respons dari Kondisi terakhir dimasa Era Orde Baru, Yang sesungguhnya Pemerintah Pusat telah menyadari keadaan yang sesungguhnya. Sebagian analis analis menyatakan jika respon Pemerintah Orde Baru lebih awal dari tuntutan nurani masyarakat, maka keadaan Pemerintah akan masih dipertahankan. Jika acuh dan lengah maka keadaan Negara kita mungkin akan sama dengan Uni Soviet, dimana Michail Gorbacev melakukan kebijakan Glas Noot dan Prestroika yang berakibat terhadap muncullah ke egoan masing-masing suku untuk membentuk negara dalam Negara.

Fenomena Sebelum Pilkada

            Situasi sebelum Pilkadasung (Pemilihan Kepala daerah secara langsung), berbagai macam tanggapan dari berbagai kalangan Praktisi Politik Nasional dan Lokal dengan indikator-indikator atau perhitungan kelebihan dan kelemahan PILKADA. Mengerucutnya persoalan Bangsa Negara, utamanya kerusuhan dimana-mana yang menandalkan pakaian Bangsa kita yang santun, ramah, bermoral dalam bingkai ideologi Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Harta bahkan Jiwa (manusia) yang disanjung ternyata tidak mempunyai nilai dan arti, -- budaya santun beruba dengan kekerasan dan pembunuhan--- (contoh Kasus: Kerusuhan 1999 s/d 2002 di Daerah Kita, Ambon, Poso dll)
             Analisa kepemimpinan yang tak becus sampai bagaimana mekanisme pemilihan Kepala daerah, pemilihan Parliamen (Legislatif) secara langsung juga menjadi isu yang hangat diperbincangkan, Kongklusi dalam perbincangan juga berbeda-beda.Keterlibatan pengamat Politik, Politisi, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Stakeholder dalam perbincangan ini, maka lahirlah  Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan undang undang No.31 tahun 2003 tentang Partai Politik.
            Tak luput dari isu hangat tersebut, dimana politisi politisi lokal juga mempersiapkan diri untuk menyambut, dengan alasan kekuatan Grass Grout inilah yang akan mampu menyelesaikan problem daerah masing-masing. Problem nasional atau daerah akan bisa diselesaikan secara santun dan bermoral serta bermartabat (semangat Pancasila-UUD 45).

Fenomena Pilkada
            Pilkada adalah hajatan demokrasi daerah untuk mencari sosok pimpinan ideal yang harus diresponi secara positif oleh semua kalangan masyarakat. Perubahan dan pembauran Bangsa sangat diharapkan dalam moment pilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA). Analisa-analisa tersebut diatas, ternyata terjadi benturan-benturan, entah karena demokrasi yang dipahami oleh masyarakat (Frame) mengalami bias (Eporia Demokrasi) atau salah dalam menafsirkan makna Ideal demokrasi sehingga yang muncul kepermukaan persaingan-persaingan yang tidak sehat, mobilisasi masa pendukung dan tidak memperhatikan proses Pendidikan Politik.
            Demikian ada satu fenomena menarik yang terjadi di Kabupaten Halsel, sebenarnya mempunyai daya tarik sendiri dibandingkan dengan Kabupaten-kabupaten lain, sebelum Pilkada berlangsung ada sebuah kesepakatan/kesepahaman “siap kalah dan siap menang” ditanda tangani pada tanggal 11 Juni 2005 yang dilakukan oleh semua Kandidat Halsel Satu, disaksikan oleh KPU dan Tim-tim Sukses masing-masing Kandidat. Walaupun cara ini adalah adopsi dari pengalaman Pemilihan Presiden RI kemarin, tapi sesungguhnya mempunyai makna mendalam dalam perspektif demokrasi (pendidikan politik), cara ini diluar mekanisme pemilihan, tapi akan mengendalikan fanatisme berlebihan dan fokusnya adalah melihat kepentingan daerah yang lebih besar.
            Begitu pula dengan agenda/hajatan Pilkada kabupaten-kabupaten di Provinsi Maluku Utara, semuanya berlangsung dan dapat dikendalikan oleh pihak keamanan, jelas ada gesekan-gesekan kecil yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Gesekan ini, kalau tidak tertangani oleh Pemerintah dan masyarakat, maka analisa tidak moral dan bermartabat akan terjadi terus menerus. Dengan demikian apa yang mau diharapkan dengan Kepemimpinan oleh yang terpilih..

Fenomena Pasca PILKADA
            Prosesi Demokrasi telah berlangsung dan semua Daerah telah selesai mengadakan Pemilihan Kepala Daerah(30 Nopember 2005, di Halbar Putaran II). Jika hipotesis kepemimpinan yang menjadi isu sentral, maka selesai dan berikan kesempatan bekerja untuk daerah sesuai dengan visi dan misinya.
            Sekedar untuk menambah wawasan perbandingan kita, Prancis adalah negara yang banyak menelorkan gagasan-gagasan  tata pemerintahan Dunia (Mounteque:Trias Politica).dengan memperhatikan sebab sebab historis dan sebab yang ada sekarang dari perbedaan-perbedaan sosial politik di Prancis, yang patut dicatat adalah Pemerintahan Prancis berfungsi dalam segala-galanya. Sampai tanggal 13 mei 1958, rakyat Prancis memerintah diri sendiri secara demokratis di bawah konstitusi Republik ke empat, kemudian pada tanggal 1 Juni 1958 Jenderal Charles de Gaulle dimintah untuk menjadi Perdana Menteri dan masih dalam rangka republik ke empat. Dan pada konstitusi Republik ke Lima, dimintakan suara rakyat untuk reverendum dan pada tanggal 28 september 1958 reverendum dilaksanakan, hasilnya adalah konstitusi baru dalam perbaikan-perbaikan Pemerintahannya. Dalam sejarah Pemerintahan Prancis, tercatat mulai :
1.         Tahun 800 s/d 1789 kekuasaan Anien Regime- charlemagne
2.         Tahun 1789 s/d 1804 kekuasaan Republik Pertama
3.         Tahun 1804 s/d 1814 Kekuasaan Pertama Nepoleon Bonapartai (ditambah 100 hari dalam tahun 1815)
4.         Tahun 1814 s/d 1830 : Restorasi, Louis ke XVIII sampai tahun 1824 dilanjutkan Charles Ke X
5.         Tahun 1830 s/d 1848 Kekuasaan Monarkhi Juli Raja Louis Philipe
6.         Tahun 1848 s/d 1852 : Republik Kedua, Louis Napoleon sebagai Presiden
7.         Tahun 1852 s/d 1870 : Kekaisaran Kedua, Louis Napoleon sebagai Kaisar dengan gelar Napoleon III
8.         Tahun 1870 s/d 1940, Kekuasaan Republik Kedua, suatu Pemerintahan terakhir yang terpanjang semenjak 1789 (-70 tahun)
9.         Tahun 1940 s/d 1944: Vichy Regime, Marsekal Petain sebagai Presiden
10.      Tahun 1946 s/d 1958: Republik Ke empat, meliputi keadaan darurat tahun 1944-1946
11.      Tahun 1958-…… : Republik kelima, sampai sekarang masih dalam era Republik Kelima.(Herman Finer dalam S.Pamudji 1994 :61-64)
Bangunan Pemerintahan Prancis sepanjang sejarah mulai dari tahun 800 sampai dengan tahun 1958 tidak pernah mengalami kestabilan, karena masing-masing legislatif dan eksekutif tidak punya niat baik untuk membangun Bangsa, tetapi yang munculnya dipermukaan hanyalah Kepentingan Pribadi, kelompok, suku dan lain-lainnya.
Gambaran bangunan Pemerintahan Prancis diatas, memberikan pelajaran (ibrah) berharga untuk kepentingan dan kedewasaan Demokratisasi di daerah kita pasca Pilihan Kepada Daerah (PILKADA).
Dalam sejarah Daerah bahkan Bangsa kita, PILKADA adalah merupakan hal baru, ketidakstabilan emosi, baik Kandidat maupun Tim sukses merupakan hal wajar dan perlu pembenahan-pembenahan kedepan. Seluruh masyarakat = kaum Pemuda, anak bangsa, Pemerintah, Kalangan Perguruan Tinggi, LSM-LSM, ormas-ormas mempunyai tanggung jawab berat.

Jika ditelusuri, problem sosial Politik yang terjadi pasca PILKADA,
1.         Putusnya Tali silaturrahmi di antara kita
2.         Etika dan Moralitas dalam berdemokrasi terkoreksi
3.         Rusaknya tatanan sosial, masih mudah terpengaruh dengan isu-isu yang memprovokasi.
4.         Mobilisasi Massa yang Brutal

Masukan/tawaran,
1.       Lemahnya Politik Education, kegagalan terbesar dari peranan Partai politik, karena kekurang mampuan untuk melakukan inovasi-inovasi dalam kampanye, metode pengumpulan massa kampanye menjadi seragam,  menghadirkan figur-figur yang dianggap populer “Artis dangdut” dan lain-lain. Pendidikan Politik perlu mendapat perhatian utama.
2.       Praktisi Politik dan partai Politik, hendaknya dewasa dalam melihat bebagai persoalan daerah, kepentingan daerahlah yang dikedepankan
3.       Pemerintah harus lebih gencar untuk mensosialisasi dan mengkomunikasikan akan pentingnya pembauran-pembauran dalam kerangka persatuan dan kesatuan Bangsa Republik Indonesia.

Penutup
            Demikian, political will (kemauan dan niat baik) dari semua elemen masyarakat merupakan persyaratan untuk kemandirian dan kamapanan Daerah yang kita cintai. Semoga bermanfaat, wallahu alam bissawab.,





  


           
             

Berpose pada saat Baitul Arqam Tk Pimpinan UMMU Thn 2009

Helmi, Jani, Lilo dan Ahmad,... kelihatannya Bpk Helmi ini acuh Kamera......