Oleh
Abd Halil Hi. Ibrahim Tjan, M.Si
(Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UMMU)
I
Perang besar dan berlangsung dalam waktu yag panjang pun usai. Banyak yang
hilang dari perang saudara; itu. Kedamaian, semangat persatuan, ribuan jiwa
rakya tokoh-tokoh bangsa, orang-orang yang berjasa dala: membangun negara,
semua musnah.
Namun, sang "Ratu Adil" telah datang membawa
kemenangan. Yudisthira, segera setelah dinobatkan menjadi Raja Astina, ia
menyampaikan salam damai dan sejahtera ba semua yang telah gugur. Kawan maupun
lawan, semua yang gugur adalah pahlawan, karena mereka sama-sama berperang
membela negerinya, meskipun dengan persepsi yang berbeda
Ia mengangkat salah seorang tokoh
tua menjadi perdana menteri. Ia memeluk dan mencium kaki Destarat raja
sebelumnya yang buta, lemah dan menjadi sumber malapetaka. Raja yang telah
membuang dan menyengsaraku dirinya, ibunya dan saudara-saudaranya selama
belasan tahun itu diangkat menjadi penasehat kerajaan dan guru besarnya Ia
menyebut isteri Destarata sebagai cahaya kerajaan. membagi tugas dan tanggung jawab
kenegaraan kepada Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, para pahlawan yang telah
menpertaruhkan jiwa dan raganya. Kemudian ia menyampaikan pesan kenegaraan :
Banyak sekali yang hilang dari perang ini. Perang telah menciptakan
kehancuran, melenyapkan ribuan nyawa. Tetapi itu semua adalah masa lalu, maka Lupakanlah, ambillah pelajaran dari sana.
Oleh karena itu, hilangkan dendam, karena dendam hanya akan menciptakan perang
berikutnya. Sebagai pemimpin negara, tugasku sekarang adalah menatap masa depan,
membangun masa depan negara ini menuju negara yang adil, makmur dan sejehtera.
Seperti diceritakan dalam "Perang
Barathayudha," dari legenda Mahabarata, Sang Ratu Adil Yudisthira membawa negara Astina
menjadi negara yang tentram, damai, adil, makmur dan sejahtera. Ia menjadikan
masa lalu sebagai bagian dari sejarah, sebagai pelajaran menuju masa depan yang
gemilang. Di bawah Yudisthira, Astina menjadi negara "impian" bagi
komunitas manusia.
"Sejarah Mahabarata" hanyalah legenda,
tetapi kisah kepahlawanan, keangkaramurkaan perang melawan kejahatan dan
kebatilan, serta konsep dan landasan pemerintahan negara yang terkuak dalam
legenda itu telah menjadi "mitos" yang dipercayai sebagai sebuah
kenyataan yang selalu ada dalam setiap perjalanan bangsa manusia. oleh karena
itu, "Ratu Adil" diyakini oleh banyak masyarakat akan muncul menyusul
terjadinya kehancuran negara. Ia hadir untuk mengobati, membaharui dan
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.
II
Di Negeri
kita ini (Maluku Utara), pernah terjadi Konflik social yang cukup memukau
bahkan kita di kenal dengan daerah yang sangat kental dengan kekerasan Dalam Pandangan sosiologis, Dahrendorf berpendapat
bahwa Masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu
teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori
konsensus, Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat
dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf
mengaku bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi
persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali ada
konsensus sebelumnya. Contoh, nyonya Prancis sangat tak mungkin berkonflik
dengan pemain catur Chili karena tak ada kontak antara mereka, tak ada integrasi
sebelumnya yang menyediakan basis untuk konflik. Sebaliknya, konflik dapat
menimbulkan konsensus dan integrasi. Contohnya adalah aliansi antara Amerika
Serikat dan Jepang yang berkembang sesudah Perang Dunia II.
Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendor tak
optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua
proses itu. Dia menyatakan: "Mustahil menyatukan teori untuk menerang kan
masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangar filsafat
Barat". Untuk menghindarkan diri dari teori tunggal itu Dahrendorf
membangun teori konflik masyarakat.
Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh, fungsionalisme
struktural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, sistem sosial dipersatukan
oleh kerja sama sukarela atau oleh konsesus bersama atau oleh kedua-duanya.
Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan
oleh "ketidakbebasan yang dipaksakan". Dengan demikian, posisi
tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap
posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada
tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas "selalu menjadi
faktor yang menentukan konflik sosial sistematis".
Otoritas. Dahrendorf memusatkan
perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.
Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat
mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri
individu, tetapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur
posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu:
"sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan". Menurut Dahrendorf, tugas
pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di
dalam masyarakat.
Otoritas yang melekat pada posisi
adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat
menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas
diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari
orang yang berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka
sendiri. Seperti otoritas, harapan ini pun melekat pada posisi, bukan pada
orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum; mereka yang tunduk pada
kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat.
Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang
menentang.
Menurut Dahrendorf, otoritas
tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya.
Karena itu seseorang yang berwenang dalam iatu lingkungan tertentu tak harus
memegang posisi otoritas di dalam lingkungan fang lain. Begitu pula seseorang
yang berada dalam posisi subordinat dalam suatu kelompok, mungkin menempati
posisi yang superordinat dalam kelompok ain. Ini berasal dari argumen Dahrendorf
yang menyatakan bahwa masyarakat ersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan
secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai
asosiasi individu yang dikontrol oleh lierarki posisi otoritas. Karena
masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang ndividu dapat menempati posisi
otoritas di satu unit dan menempati posisi yang ubordinat di unit lain.
Otoritas dalam setiap asosiasi
bersifat dikotomi; karena itu ada dua, hanya da dua, kelompok konflik yang
dapat terbentuk di dalam setiap asosiasi. Celompok yang memegang posisi
otoritas dan kelompok subordinat yang aempunyai kepentingan tertentu "yang
arah dan substansinya saling ber-entangan". Di sini kita berhadapan dengan
konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf, yakni kepentingan. Kelompok yang berada di atas dan yang berada di bawah didefinisikan
berdasarkan kepentingan bersama. Dahrendorf tetap nenyatakan bahwa kepentingan
itu, yang sepertinya tampak sebagai fenomena mikologi, pada dasarnya adalah
fenomena berskala luas:
Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada
posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordina
berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan di dalam asosiasi selalu ada
sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas
selalu terancam. Konflik kepentingan ini tak selalu perlu disadari oleh pihal
subordinat dan superordinat dalam rangka melakukan aksi. Kepentingan
superordinat dan subordinat adalah objektif dalam arti bahwa kepentingan itt tercermin
dalam harapan (peran) yang dilekatkan pada posisi. Individu tak selalu perlu
menginternalisasikan harapan itu atau tak perlu menyadarinya dalam rangka
bertindak sesuai dengan harapan itu. Bila individu menempati posisi tertentu,
mereka akan berperilaku menurut cara yang diharapkan. Individt
"disesuaikan" atau "menyesuaikan diri" dengan perannya bila
mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat dan subordinat. Harapan
peran yang tal disadari ini disebut Dahrendorf kepentingan tersembunyi. Kepentingan nyata adalah" kepentingan
tersembunyi yang telah disadari. Dahrendorf melihat analisis hubungan antara
kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu sebaga tugas utama teori
konflik. Bagaimanapun juga, aktor tak selalu perlu menyadar kepentingan mereka
untuk bertindak sesuai dengan kepentingan itu.
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf
membedakan tiga tipe utama kelompok.
1.
Pertama adalah kelompok
semu (quasi group) atau "sejumlah pemegang
posisi dengan kepentingan yang; sama". Kelompok semu ini adalah calon
anggota tipe kedua,
2. Kelompok Kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan
oleh Dahrendorf seperti berikut: Mode perilaku yang sama adalah karakteristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok ini adalah agen riil dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan
atau program dan anggota perorangan.
3. Dari berbagai jenis kelompok
kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok
aktual.
Menurut Dahrendorf, konsep kepentingan tersembunyi,
kepentingan nyata kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok
konflik adalah konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial. Di bawah kondisi
yang ideal tak ada lagi variabel lain yang diperlukan.
Tetapi, karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain ikut
berpengaruh dalam proses konflik sosial, dahrendorf menyebut kondisi-kondisi
teknis seperti personil yang cukup, kondisi politik seperti situasi politik
secara keseluruhan, dan kondisi sosial seperti keberadaan hubungan komunikasi.
Cara orang direkrut ke dalam kelompok semu adalah kondisi sosial yang penting
bagi Dahrendorf. Dia menganggap bahwa rekrutmen berlangsung secara acak dan
ditentukan oleh peluang, maka kelompok kepentingan, dan akhirnya
kelompok konflik, tak mungkin muncul.
Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul,
kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur
sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila
konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara
tiba-iba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan
hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan
status
quo.
III
Untuk
konteks Maluku Utara, bahwa yang paling banyak diharapkan dapat memainkan
peranan mengisi ruang ruang dalam civil society bisa terbentuk, serta menghindari
konflik/perkelahian adalah
kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Organisasi politik lain, seperti
partai politik dan sejumlah kelompok kepentingan yang berdasarkan profesi,
seperti Kadin, Gapensi, dan lain sebagainya, masih sangat terbatas peranannya.
Dalam wacana politik Indonesia, sebagaimana yang kita amati, tidak jarang
organisasi non-pemerintah seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Walhi, dan lain-lain, dan
yang mengambil-alih
peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, mengisi ruang publik
dalam proses pembentukan kebijaksanaan publik. Kelompok kepentingan yang
seringkali
muncul adalah kelompok kepentingan yang bersifat konvensional, seperti yang
berasal dari kalangan Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Atau,
yang berasal dari kalangan gereja Kristen dan Katolik, semua kelompok-kelompok
itu mempunyai tanggungjawab bersama untuk Masa depan Maluku Utara.
Sekian……
Sumber
Bacaan, :
Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Kholid O.
Santosa, 2010, Praktek Demokrasi Langsung di Indonesia, Bandung : Sega Arsy.
George Ritzer- Douglas J. Godmen,
2010 Teori Sosiologi Modern (terjemahan), Jakarta : Kencana