Laman

Rabu, 25 September 2013

SEMUA UNTUK MALUKU UTARA

Oleh 
Abd Halil Hi. Ibrahim Tjan, M.Si
(Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UMMU)

I

Perang besar dan berlangsung dalam waktu yag panjang pun usai. Banyak yang hilang dari perang saudara; itu. Kedamaian, semangat persatuan, ribuan jiwa rakya tokoh-tokoh bangsa, orang-orang yang berjasa dala: membangun negara, semua musnah.
Namun, sang "Ratu Adil" telah datang membawa kemenangan. Yudisthira, segera setelah dinobatkan menjadi Raja Astina, ia menyampaikan salam damai dan sejahtera ba semua yang telah gugur. Kawan maupun lawan, semua yang gugur adalah pahlawan, karena mereka sama-sama berperang membela negerinya, meskipun dengan persepsi yang berbeda
Ia mengangkat salah seorang tokoh tua menjadi perdana menteri. Ia memeluk dan mencium kaki Destarat raja sebelumnya yang buta, lemah dan menjadi sumber malapetaka. Raja yang telah membuang dan menyengsaraku dirinya, ibunya dan saudara-saudaranya selama belasan tahun itu diangkat menjadi penasehat kerajaan dan guru besarnya Ia menyebut isteri Destarata sebagai cahaya kerajaan. membagi tugas dan tanggung jawab kenegaraan kepada Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, para pahlawan yang telah menpertaruhkan jiwa dan raganya. Kemudian ia menyampai­kan pesan kenegaraan :
Banyak sekali yang hilang dari perang ini. Perang telah menciptakan kehancuran, melenyapkan ribuan nyawa. Tetapi itu semua adalah masa lalu, maka Lupakanlah, ambillah pelajaran dari sana. Oleh karena itu, hilangkan dendam, karena dendam hanya akan menciptakan perang berikutnya. Sebagai pemimpin negara, tugasku sekarang adalah menatap masa depan, membangun masa depan negara ini menuju negara yang adil, makmur dan sejehtera.
Seperti diceritakan dalam "Perang Barathayudha," dari legenda Mahabarata, Sang Ratu Adil Yudisthira membawa negara Astina menjadi negara yang tentram, damai, adil, makmur dan sejahtera. Ia menjadikan masa lalu sebagai bagian dari sejarah, sebagai pelajaran menuju masa depan yang gemilang. Di bawah Yudisthira, Astina menjadi negara "impian" bagi komunitas manusia.
"Sejarah Mahabarata" hanyalah legenda, tetapi kisah kepahlawanan, keangkaramurkaan perang melawan kejahatan dan kebatilan, serta konsep dan landasan pemerintahan negara yang terkuak dalam legenda itu telah menjadi "mitos" yang dipercayai sebagai sebuah kenyataan yang selalu ada dalam setiap perjalanan bangsa manusia. oleh karena itu, "Ratu Adil" diyakini oleh banyak masyarakat akan muncul menyusul terjadinya kehancuran negara. Ia hadir untuk mengobati, membaharui dan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

II

Di Negeri kita ini (Maluku Utara), pernah terjadi Konflik social yang cukup memukau bahkan kita di kenal dengan daerah yang sangat kental dengan kekerasan  Dalam Pandangan sosiologis, Dahrendorf berpendapat bahwa Masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus, Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengaku bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Contoh, nyonya Prancis sangat tak mungkin berkonflik dengan pemain catur Chili karena tak ada kontak antara mereka, tak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan basis untuk konflik. Sebaliknya, konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Contohnya adalah aliansi antara Amerika Serikat dan Jepang yang berkembang sesudah Perang Dunia II.
Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendor tak optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan: "Mustahil menyatukan teori untuk menerang kan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangar filsafat Barat". Untuk menghindarkan diri dari teori tunggal itu Dahrendorf membangun teori konflik masyarakat.
Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh, fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, sistem sosial diper­satukan oleh kerja sama sukarela atau oleh konsesus bersama atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh "ketidakbebasan yang dipaksakan". Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas "selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis".
Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.  Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: "sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan". Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Seperti otoritas, harapan ini pun melekat pada posisi, bukan pada orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum; mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Karena itu seseorang yang berwenang dalam iatu lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan fang lain. Begitu pula seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam suatu kelompok, mungkin menempati posisi yang superordinat dalam kelompok ain. Ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat ersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh lierarki posisi otoritas. Karena masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang ndividu dapat menempati posisi otoritas di satu unit dan menempati posisi yang ubordinat di unit lain.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu ada dua, hanya da dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk di dalam setiap asosiasi. Celompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang aempunyai kepentingan tertentu "yang arah dan substansinya saling ber-entangan". Di sini kita berhadapan dengan konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf, yakni kepentingan. Kelompok yang berada di atas dan yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama. Dahrendorf tetap nenyatakan bahwa kepentingan itu, yang sepertinya tampak sebagai fenomena mikologi, pada dasarnya adalah fenomena berskala luas:
Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordina berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan di dalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas selalu terancam. Konflik kepentingan ini tak selalu perlu disadari oleh pihal subordinat dan superordinat dalam rangka melakukan aksi. Kepentingan superordinat dan subordinat adalah objektif dalam arti bahwa kepentingan itt tercermin dalam harapan (peran) yang dilekatkan pada posisi. Individu tak selalu perlu menginternalisasikan harapan itu atau tak perlu menyadarinya dalam rangka bertindak sesuai dengan harapan itu. Bila individu menempati posisi tertentu, mereka akan berperilaku menurut cara yang diharapkan. Individt "disesuaikan" atau "menyesuaikan diri" dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat dan subordinat. Harapan peran yang tal disadari ini disebut Dahrendorf kepentingan  tersembunyi. Kepentingan nyata adalah" kepentingan tersembunyi yang telah disadari. Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu sebaga tugas utama teori konflik. Bagaimanapun juga, aktor tak selalu perlu menyadar kepentingan mereka untuk bertindak sesuai dengan kepentingan itu.
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok.
1.     Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau "sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang; sama". Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua,
2.     Kelompok Kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan oleh Dahrendorf seperti berikut: Mode perilaku yang sama adalah karakteristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok ini adalah agen riil dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan.
3.     Dari berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual.
Menurut Dahrendorf, konsep kepentingan tersembunyi, kepentingan nyata kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok konflik adalah konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial. Di bawah kondisi yang ideal tak ada lagi variabel lain yang diperlukan. Tetapi, karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial, dahrendorf menyebut kondisi-kondisi teknis seperti personil yang cukup, kondisi politik seperti situasi politik secara keseluruhan, dan kondisi sosial seperti keberadaan hubungan komunikasi. Cara orang direkrut ke dalam kelompok semu adalah kondisi sosial yang penting bagi Dahrendorf. Dia menganggap bahwa rekrutmen berlangsung secara acak dan ditentukan oleh peluang, maka kelompok kepentingan, dan akhirnya kelompok konflik, tak mungkin muncul.
Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-iba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.


III


Untuk konteks Maluku Utara, bahwa yang pa­ling banyak diharapkan dapat memainkan peranan mengisi ruang ruang dalam civil society bisa terbentuk, serta menghindari konflik/perkelahian adalah kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. Organisasi politik lain, seperti partai politik dan sejumlah kelompok kepentingan yang berdasarkan profesi, seperti Kadin, Gapensi, dan lain sebagainya, masih sangat terbatas peranannya. Dalam wacana politik Indonesia, sebagaimana yang kita amati, tidak jarang organisasi non-pemerintah seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Lembaga Konsumen Indo­nesia (YLKI), Walhi, dan lain-lain, dan yang mengambil-alih peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, mengisi ruang publik dalam proses pembentukan kebijaksanaan publik. Kelompok kepentingan yang seringkali muncul adalah kelom­pok kepentingan yang bersifat konvensional, seperti yang ber­asal dari kalangan Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdla­tul Ulama. Atau, yang berasal dari kalangan gereja Kristen dan Katolik, semua kelompok-kelompok itu mempunyai tanggungjawab bersama untuk Masa depan Maluku Utara.

Sekian……


Sumber Bacaan, :

Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kholid O. Santosa, 2010, Praktek Demokrasi Langsung di Indonesia, Bandung : Sega Arsy.
George Ritzer- Douglas J. Godmen, 2010 Teori Sosiologi Modern (terjemahan), Jakarta : Kencana