Laman

Selasa, 02 November 2010

MEMBUNUH PARTAI BARU


MEMBUNUH PARTAI BARU

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) selalu akrab dengan atribut-atribut tak elok. Setelah kesohor sebagai salah satu lembaga paling korup, kini DPR menyandang predikat baru sebagai pembunuh.
Pembunuh? Ya, pembunuh partai-partai baru. Sembilan partai yang bercokol di DPR seolah sepakat menjegal partai-partai baru ikut dalam Pemilu 2014. Penjegalan dilakukan melalui revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Badan Legislasi DPR sedang menyiapkan revisi UU itu. Salah satu materi yang hendak diselundupkan ke dalam RUU itu menyebutkan parpol yang baru lahir tidak boleh menjadi peserta Pemilu 2014, tetapi harus mengonsolidasikan diri sekurang-kurangnya lima tahun. Jika pasal itu lolos, partai-partai baru baru boleh mengikuti pemilu pada 2019. Itulah pasal pengebirian sekaligus penyesatan terhadap konstitusi negara. UUD 1945 amendemen kedua Pasal 28E ayat 3 jelas-jelas menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Mengapa DPR merasa berhak membatasi? Pembatasan itu menunjukkan ketakutan partai-partai di DPR terhadap partai-partai baru. Partai-partai yang bercokol di DPR menyadari rakyat kian kecewa dan frustrasi terhadap kinerja mereka. Partai-partai di DPR lebih menjaga kepentingan kelompok daripada memperjuangkan hak-hak publik. Tengok saja Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi yang baru disahkan. Itu adalah persekongkolan partai-partai untuk menyelamatkan kepentingan kelompok, bukan memperjuangkan keperluan khalayak. Semestinya DPR tidak perlu genit membuat aturan menghambat partai baru. Peraturan yang ada sekarang sudah cukup ketat menyeleksi partai sebagai badan hukum dan sebagai peserta pemilu. Sebuah partai terlebih dahulu harus memperoleh pengesahan sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, diseleksi lagi sebagai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Banyak partai tumbang dalam dua seleksi itu. Tidak hanya itu. Setelah lolos mengikuti pemilu, masih ada aturan lain menghadang, yakni parliamentary threshold sebesar 2,5% sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Artinya, hanya parpol yang secara nasional mempunyai suara memenuhi ambang batas 2,5% itu yang dapat menempatkan wakilnya di parlemen. Dengan aturan-aturan tersebut, DPR tidak perlu menghalangi partai baru mengikuti pemilu. Adalah hak warga negara untuk mendirikan partai yang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka. Biarkanlah partai-partai itu tumbuh, hidup, dan bersaing merebut kepercayaan publik. Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim yang memvonis partai mana yang boleh hidup dan mana yang harus mampus. Bukan partai-partai di DPR yang menjadi algojo memenggal hak berserikat warga. Kita kecewa dengan sikap partai-partai yang kini bersinggasana di DPR. Kecewa karena DPR yang semestinya mendorong proses demokrasi melalui pembentukan undang-undang telah beralih menjadi tukang jagal yang memotong hak hidup partai baru.

----000----

Rabu, 27 Oktober 2010

BANGSA MATI RASA


BANGSA MATI RASA


PERSOALAN bangsa yang tidak berhasil dituntaskan secara substansial telah membawa bangsa ini kian tenggelam dalam dimensi yang lebih luas dan kompleks dari krisis. Berbagai kasus yang muncul belakangan ini seperti kasus Century, kasus mundurnya Menkeu Sri Mulyani, kasus Susno Duadji, dan kasus-kasus lain yang muncul sebelumnya menjadi indikasi bahwa elite bangsa ini lebih banyak memindahkan persoalan yang satu ke persoalan yang lain daripada menyelesaikan secara tuntas. Dalam level tertentu, hal itu telah melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Salah satu penyebabnya adalah karena kalangan elite bangsa ini, khususnya pejabat pemerintah dan politikus, telah mengalami mati rasa. Perilaku mereka tidak konsisten. Ada kesenjangan serius antara ucapan dan perbuatan.
Itulah keprihatinan yang diungkapkan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah kuliah umum di Jakarta, Kamis (13/5). Keprihatinan itu senyatanya tidak mengada-ada. Dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini kita tidak lagi menganggap perilaku seperti itu sebagai anomali, tetapi sebuah kelaziman. Prinsip-prinsip tentang keluhuran budi, kesetiakawanan sosial, kejujuran, dan idealisme telah dikalahkan oleh ketidakpekaan, ketidakpedulian, dan semangat pragmatisme dalam menyelesaikan persoalan. Semangat kebangsaan telah direduksi dan dikerdilkan sedemikian rupa demi membela kepentingan individu, partai, kelompok, dan golongan. Elite bangsa yang semestinya memberikan teladan tentang budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran, dan idealisme lebih banyak mempertontonkan kemunafikan dan ketidakpedulian. Yang lebih sering berlangsung adalah barter dan transaksi dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kita menyaksikan bagaimana masyarakat menekankan interaksi transaksional dalam bentuk yang paling rakus. Sesungguhnya, ini gejala yang sangat mengkhawatirkan. Karena tidak hanya merasuki kaum elite, tapi juga merambat ke hampir semua elemen masyarakat. Karena itu, diperlukan upaya besar dan berani untuk menghentikan laju kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini. Bila terus dibiarkan, tidak ada yang bisa menjamin bangsa ini akan mampu bertahan. Kuncinya ada pada semangat keteladanan dari para pemimpin bangsa. Keteladanan untuk berbuat baik, berbudi pekerti luhur, bermoral, dan berpihak serta berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kalau semangat seperti itu telah sirna dari dalam diri pemimpin kita yang ada saat ini, tantangan bagi seluruh komponen bangsa ini untuk melahirkan kembali pemimpin-pemimpin baru yang lebih muda, lebih berani, lebih jujur, dan lebih amanah.Karena itu, perlu didukung lahirnya kekuatan baru dengan barisan moral yang lebih kukuh, lebih intelektual, lebih merakyat, lebih berdisiplin, dan lebih berketerampilan. Itulah solusi bagi bangsa yang sakit.    ------00000000------

Minggu, 24 Oktober 2010

PERKEMBANGAN KONDISI SOSIAL POLITIK PASCA PILKADA



PERKEMBANGAN KONDISI SOSIAL POLITIK PASCA PILKADA

Abd Halil Hi.Ibrahim, M.Si



Pendahuluan

            Mencermati fenomena sosial  politik bangsa kita sebenarnya cukup menarik untuk disimak. Sekedar sebagai pembanding Indonesia di era orde baru yang penuh dengan Intrik-intrik (Kata para Ahli), karena daerah-daerah tidak diberikan kewenangan untuk mengurus diri (Pemerintah Pusat=Jakarta). Persoalan ekonomi, sosial dan politik adalah suatu kemasan yang tak terlepaskan dari perhatian pemerintah Pusat.
            Indonesia Orde Baru membawa pesan sempatik dan pesan caci maki, sebagian analis sosial Politik menyatakan Orde Baru baik dengan indikator Pembangunan, pendapatan, kesejatraan masyarakat, keamanan masyarakat dan Investor terjamin. Analis sosial politik yang lain menyatakan karena sistem Pemerintahan Orde Baru sehingga saat ini anak bangsa menuai malapetaka. (=Kerusuhan di daerah-daerah, Fitnah, putusnya tali Silaturrahmi antar warga masyarakat dan lain-lain=).
            Munculnya undang-undang No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah dan Pusat merupakan Respons dari Kondisi terakhir dimasa Era Orde Baru, Yang sesungguhnya Pemerintah Pusat telah menyadari keadaan yang sesungguhnya. Sebagian analis analis menyatakan jika respon Pemerintah Orde Baru lebih awal dari tuntutan nurani masyarakat, maka keadaan Pemerintah akan masih dipertahankan. Jika acuh dan lengah maka keadaan Negara kita mungkin akan sama dengan Uni Soviet, dimana Michail Gorbacev melakukan kebijakan Glas Noot dan Prestroika yang berakibat terhadap muncullah ke egoan masing-masing suku untuk membentuk negara dalam Negara.

Fenomena Sebelum Pilkada

            Situasi sebelum Pilkadasung (Pemilihan Kepala daerah secara langsung), berbagai macam tanggapan dari berbagai kalangan Praktisi Politik Nasional dan Lokal dengan indikator-indikator atau perhitungan kelebihan dan kelemahan PILKADA. Mengerucutnya persoalan Bangsa Negara, utamanya kerusuhan dimana-mana yang menandalkan pakaian Bangsa kita yang santun, ramah, bermoral dalam bingkai ideologi Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Harta bahkan Jiwa (manusia) yang disanjung ternyata tidak mempunyai nilai dan arti, -- budaya santun beruba dengan kekerasan dan pembunuhan--- (contoh Kasus: Kerusuhan 1999 s/d 2002 di Daerah Kita, Ambon, Poso dll)
             Analisa kepemimpinan yang tak becus sampai bagaimana mekanisme pemilihan Kepala daerah, pemilihan Parliamen (Legislatif) secara langsung juga menjadi isu yang hangat diperbincangkan, Kongklusi dalam perbincangan juga berbeda-beda.Keterlibatan pengamat Politik, Politisi, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Stakeholder dalam perbincangan ini, maka lahirlah  Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan undang undang No.31 tahun 2003 tentang Partai Politik.
            Tak luput dari isu hangat tersebut, dimana politisi politisi lokal juga mempersiapkan diri untuk menyambut, dengan alasan kekuatan Grass Grout inilah yang akan mampu menyelesaikan problem daerah masing-masing. Problem nasional atau daerah akan bisa diselesaikan secara santun dan bermoral serta bermartabat (semangat Pancasila-UUD 45).

Fenomena Pilkada
            Pilkada adalah hajatan demokrasi daerah untuk mencari sosok pimpinan ideal yang harus diresponi secara positif oleh semua kalangan masyarakat. Perubahan dan pembauran Bangsa sangat diharapkan dalam moment pilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA). Analisa-analisa tersebut diatas, ternyata terjadi benturan-benturan, entah karena demokrasi yang dipahami oleh masyarakat (Frame) mengalami bias (Eporia Demokrasi) atau salah dalam menafsirkan makna Ideal demokrasi sehingga yang muncul kepermukaan persaingan-persaingan yang tidak sehat, mobilisasi masa pendukung dan tidak memperhatikan proses Pendidikan Politik.
            Demikian ada satu fenomena menarik yang terjadi di Kabupaten Halsel, sebenarnya mempunyai daya tarik sendiri dibandingkan dengan Kabupaten-kabupaten lain, sebelum Pilkada berlangsung ada sebuah kesepakatan/kesepahaman “siap kalah dan siap menang” ditanda tangani pada tanggal 11 Juni 2005 yang dilakukan oleh semua Kandidat Halsel Satu, disaksikan oleh KPU dan Tim-tim Sukses masing-masing Kandidat. Walaupun cara ini adalah adopsi dari pengalaman Pemilihan Presiden RI kemarin, tapi sesungguhnya mempunyai makna mendalam dalam perspektif demokrasi (pendidikan politik), cara ini diluar mekanisme pemilihan, tapi akan mengendalikan fanatisme berlebihan dan fokusnya adalah melihat kepentingan daerah yang lebih besar.
            Begitu pula dengan agenda/hajatan Pilkada kabupaten-kabupaten di Provinsi Maluku Utara, semuanya berlangsung dan dapat dikendalikan oleh pihak keamanan, jelas ada gesekan-gesekan kecil yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Gesekan ini, kalau tidak tertangani oleh Pemerintah dan masyarakat, maka analisa tidak moral dan bermartabat akan terjadi terus menerus. Dengan demikian apa yang mau diharapkan dengan Kepemimpinan oleh yang terpilih..

Fenomena Pasca PILKADA
            Prosesi Demokrasi telah berlangsung dan semua Daerah telah selesai mengadakan Pemilihan Kepala Daerah(30 Nopember 2005, di Halbar Putaran II). Jika hipotesis kepemimpinan yang menjadi isu sentral, maka selesai dan berikan kesempatan bekerja untuk daerah sesuai dengan visi dan misinya.
            Sekedar untuk menambah wawasan perbandingan kita, Prancis adalah negara yang banyak menelorkan gagasan-gagasan  tata pemerintahan Dunia (Mounteque:Trias Politica).dengan memperhatikan sebab sebab historis dan sebab yang ada sekarang dari perbedaan-perbedaan sosial politik di Prancis, yang patut dicatat adalah Pemerintahan Prancis berfungsi dalam segala-galanya. Sampai tanggal 13 mei 1958, rakyat Prancis memerintah diri sendiri secara demokratis di bawah konstitusi Republik ke empat, kemudian pada tanggal 1 Juni 1958 Jenderal Charles de Gaulle dimintah untuk menjadi Perdana Menteri dan masih dalam rangka republik ke empat. Dan pada konstitusi Republik ke Lima, dimintakan suara rakyat untuk reverendum dan pada tanggal 28 september 1958 reverendum dilaksanakan, hasilnya adalah konstitusi baru dalam perbaikan-perbaikan Pemerintahannya. Dalam sejarah Pemerintahan Prancis, tercatat mulai :
1.         Tahun 800 s/d 1789 kekuasaan Anien Regime- charlemagne
2.         Tahun 1789 s/d 1804 kekuasaan Republik Pertama
3.         Tahun 1804 s/d 1814 Kekuasaan Pertama Nepoleon Bonapartai (ditambah 100 hari dalam tahun 1815)
4.         Tahun 1814 s/d 1830 : Restorasi, Louis ke XVIII sampai tahun 1824 dilanjutkan Charles Ke X
5.         Tahun 1830 s/d 1848 Kekuasaan Monarkhi Juli Raja Louis Philipe
6.         Tahun 1848 s/d 1852 : Republik Kedua, Louis Napoleon sebagai Presiden
7.         Tahun 1852 s/d 1870 : Kekaisaran Kedua, Louis Napoleon sebagai Kaisar dengan gelar Napoleon III
8.         Tahun 1870 s/d 1940, Kekuasaan Republik Kedua, suatu Pemerintahan terakhir yang terpanjang semenjak 1789 (-70 tahun)
9.         Tahun 1940 s/d 1944: Vichy Regime, Marsekal Petain sebagai Presiden
10.      Tahun 1946 s/d 1958: Republik Ke empat, meliputi keadaan darurat tahun 1944-1946
11.      Tahun 1958-…… : Republik kelima, sampai sekarang masih dalam era Republik Kelima.(Herman Finer dalam S.Pamudji 1994 :61-64)
Bangunan Pemerintahan Prancis sepanjang sejarah mulai dari tahun 800 sampai dengan tahun 1958 tidak pernah mengalami kestabilan, karena masing-masing legislatif dan eksekutif tidak punya niat baik untuk membangun Bangsa, tetapi yang munculnya dipermukaan hanyalah Kepentingan Pribadi, kelompok, suku dan lain-lainnya.
Gambaran bangunan Pemerintahan Prancis diatas, memberikan pelajaran (ibrah) berharga untuk kepentingan dan kedewasaan Demokratisasi di daerah kita pasca Pilihan Kepada Daerah (PILKADA).
Dalam sejarah Daerah bahkan Bangsa kita, PILKADA adalah merupakan hal baru, ketidakstabilan emosi, baik Kandidat maupun Tim sukses merupakan hal wajar dan perlu pembenahan-pembenahan kedepan. Seluruh masyarakat = kaum Pemuda, anak bangsa, Pemerintah, Kalangan Perguruan Tinggi, LSM-LSM, ormas-ormas mempunyai tanggung jawab berat.

Jika ditelusuri, problem sosial Politik yang terjadi pasca PILKADA,
1.         Putusnya Tali silaturrahmi di antara kita
2.         Etika dan Moralitas dalam berdemokrasi terkoreksi
3.         Rusaknya tatanan sosial, masih mudah terpengaruh dengan isu-isu yang memprovokasi.
4.         Mobilisasi Massa yang Brutal

Masukan/tawaran,
1.       Lemahnya Politik Education, kegagalan terbesar dari peranan Partai politik, karena kekurang mampuan untuk melakukan inovasi-inovasi dalam kampanye, metode pengumpulan massa kampanye menjadi seragam,  menghadirkan figur-figur yang dianggap populer “Artis dangdut” dan lain-lain. Pendidikan Politik perlu mendapat perhatian utama.
2.       Praktisi Politik dan partai Politik, hendaknya dewasa dalam melihat bebagai persoalan daerah, kepentingan daerahlah yang dikedepankan
3.       Pemerintah harus lebih gencar untuk mensosialisasi dan mengkomunikasikan akan pentingnya pembauran-pembauran dalam kerangka persatuan dan kesatuan Bangsa Republik Indonesia.

Penutup
            Demikian, political will (kemauan dan niat baik) dari semua elemen masyarakat merupakan persyaratan untuk kemandirian dan kamapanan Daerah yang kita cintai. Semoga bermanfaat, wallahu alam bissawab.,





  


           
             

Berpose pada saat Baitul Arqam Tk Pimpinan UMMU Thn 2009

Helmi, Jani, Lilo dan Ahmad,... kelihatannya Bpk Helmi ini acuh Kamera......

Kebahagiaan Rumah Tangga


Jika Anda ingin mewujudkan kebahagiaan, memperbarui pernikahan dan hidup Anda, maka belajarlah  untuk memilah-milah masalah yang Anda hadapi….

Wajah Birokrasi Maluku Utara

Setelah reformasi, dan perubahan status menjadi Provinsi Maluku Utara, kini wilayah yang dikenal Moloku Kie Raha telah berusia 11 tahun, ada banyak hal yang harus dilakukan, terutama untuk mereformasi tubuh birokrasi...Sampai kapan?

Tobelo Trip

Menuju Sofifi, Tobelo Trip....Rombongan UMMU